Living Lab TAMENG di Malang jadi Bukti nyata inovasi hijau untuk lawan perubahan iklim

waktu baca 3 menit

Jakarta (KABARIN) - Para petani binaan Petrokimia Gresik di Kabupaten Malang, Jawa Timur, membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari desa. Mereka mengembangkan konsep Living Lab berbasis masyarakat yang dinilai bisa jadi solusi nyata untuk menghadapi dampak perubahan iklim di sektor pertanian hortikultura.

Melalui program bernama Tawangargo Smart-Eco Farming Village atau yang akrab disebut TAMENG, para petani berhasil meningkatkan produktivitas sekaligus menciptakan sistem pertanian berkelanjutan. Program ini bukan cuma proyek percobaan, tapi sudah berkembang jadi wadah kolaborasi antara petani, peneliti, mahasiswa, hingga komunitas untuk menguji ide dan menerapkan teknologi ramah lingkungan.

“Living Lab ini digerakkan langsung oleh masyarakat. Di sini kami sebagai petani bukan hanya menjadi objek, tetapi juga bertindak sebagai subjek yang melakukan penelitian dan uji coba nyata untuk pertanian berkelanjutan,” kata Karmukit, salah satu local hero dari program TAMENG.

Karmukit juga bercerita kalau TAMENG kini berubah dari desa hortikultura biasa menjadi pusat riset komunitas. Pertanian dan peternakan di sana kini terintegrasi dengan wisata edukasi yang menarik minat banyak orang. “Alhamdulillah, TAMENG sekarang berkembang menjadi research center berbasis komunitas. Ini bukti kalau masa depan pertanian Indonesia bisa dimulai dari desa,” ujarnya.

Program TAMENG dimulai sejak 2022 dan melibatkan 35 petani dari kelompok Agronova Vision. Dengan dukungan Petrokimia Gresik, para petani dilatih untuk menerapkan teknik climate smart agriculture yang menjaga lingkungan sekaligus menambah penghasilan. Prosesnya mencakup semua tahap pertanian mulai dari pembibitan, penanaman, panen, sampai penjualan hasil.

Sekarang, TAMENG makin maju dengan berbagai inovasi ramah lingkungan. Mereka menggunakan solar cell untuk menggerakkan pompa air, water drip, dan sprinkle. Ada juga rumah pengolahan limbah yang mengubah sisa panen jadi produk bernilai. Limbah organik diolah jadi pupuk cair, agensia hayati, hingga pakan ternak. Sementara limbah sayur yang masih layak makan diolah oleh ibu-ibu petani menjadi berbagai produk seperti mie sayur, keripik, dan dodol.

“Khusus limbah anorganik dikelola langsung oleh bank sampah dan dijual kepada pengepul. Kami juga memilah limbah B3 agar tidak berbahaya,” tambah Karmukit.

Selain bertani, kelompok TAMENG juga mengembangkan usaha peternakan dan perikanan. Mereka membudidayakan domba, ikan, azolla, dan cacing untuk menghasilkan pupuk kascing serta pakan ikan. Dengan cara ini, semua sumber daya bisa dimanfaatkan tanpa sisa.

Tak hanya berfokus pada produksi, TAMENG juga membuka kawasan agrowisata sebagai tempat edukasi dan rekreasi. Wisatawan bisa memetik sayur dan buah segar langsung dari kebun, mengikuti pelatihan singkat soal pertanian ramah lingkungan, hingga mencoba produk olahan hasil panen.

“Living Lab ini menjadikan TAMENG sebagai ekosistem pertanian hortikultura dari hulu hingga hilir yang mampu meningkatkan kemandirian petani, serta mendukung terwujudnya swasembada pangan nasional,” tutup Karmukit dengan bangga.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka