Sanksi IOC ke Indonesia menandakan olahraga jadi ajang tekanan politik global

waktu baca 5 menit

... tindakan IOC yang menjatuhkan sanksi ke Indonesia mencerminkan bagaimana norma internasional dapat menjadi instrumen penegakan homogenitas nilai...

Jakarta (KABARIN) - Komite Olimpiade Internasional (IOC) resmi menjatuhkan sanksi kepada Indonesia menyusul penolakan keikutsertaan atlet Israel di Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 yang digelar di Jakarta.

Buntut dari dijatuhkannya sanksi itu, Indonesia tidak bisa mengajukan bidding tuan rumah kejuaraan atau konferensi di masa mendatang hingga pemerintah Indonesia memberikan jaminan yang memadai kepada IOC bahwa pemerintah Indonesia akan mengizinkan akses bagi semua peserta, tanpa memandang kewarganegaraan.

Selain itu, IOC juga menutup dialog dengan Komite Olimpiade Nasional dan merekomendasikan kepada semua federasi internasional untuk tidak menyelenggarakan ajang atau pertemuan olahraga internasional apa pun di Indonesia.

Dalam lanskap internasional kiwari, ajang olahraga sudah bukan lagi semata urusan prestasi atau urusan kesehatan. Ia juga telah berubah menjadi medan persaingan politik simbolik.

Keputusan IOC yang menjatuhkan sanksi kepada Indonesia menegaskan hal tersebut. Keputusan ini juga memperlihatkan betapa cepatnya arena olahraga dapat berubah menjadi instrumen tekanan politik.

Pada permukaan, aturan IOC tentang non-diskriminasi tampak netral dan universal. Namun, ketika aturan itu diberlakukan selektif atau digunakan sebagai dasar untuk menekan negara tertentu, seperti yang menimpa Indonesia, unsur politik segera mengambang jelas ke permukaan.

Yang perlu dicermati tentu saja bukan hanya isi keputusan IOC, melainkan juga mekanisme bagaimana keputusan itu dibuat dan siapa yang paling diuntungkan. Institusi internasional kerap beroperasi dalam struktur kekuasaan yang tidak imbang, yang mengakibatkan norma kemudian menjadi alat, bukan sekadar pedoman.

IOC menyatakan prinsip universalitas bahwa semua atlet harus memiliki akses tanpa diskriminasi. Namun, ketika prinsip ini bertabrakan dengan kebijakan luar negeri negara tuan rumah -- yang mengklaim alasan keamanan dan kedaulatan -- konfrontasi pun terjadi.

Di sinilah muncul problem terkait apakah norma internasional tentang non-diskriminasi netral terhadap semua kepentingan, atau justru cenderung merefleksikan konsensus aktor global yang lebih dominan.

Problem tersebut setidaknya membuka mata kita untuk melihat IOC bukan hanya sebagai badan olahraga, melainkan telah menjadi aktor politik.

Keputusan untuk melarang penyelenggaraan acara di sebuah negara, dan menutup dialog dengan komite olimpiade setempat, seperti yang dilakukan IOC terhadap Indonesia, sejatinya adalah sanksi politik terselubung. Sanksi semacam ini memiliki efek reputasional dan ekonomi yang besar bagi negara tuan rumah.

Perlu diingat bahwa kemampuan suatu organisasi internasional untuk menegakkan aturan bergantung pada legitimasi dan kapasitasnya. Dua hal ini tak jarang berkaitan dengan siapa yang memberi dukungan finansial dan politik. Di sinilah asimetri muncul, di mana negara-negara besar dan blok geopolitik dapat membentuk agenda aturan global.

Dalam kasus Indonesia, ada dua dimensi yang saling bersilangan. Pertama, solidaritas politik publik terhadap Palestina. Dan kedua, kewajiban untuk memenuhi norma internasional yang melekat pada event multinasional.

Pemerintah Indonesia sendiri memilih untuk menegaskan posisi politik domestik sekaligus menegakkan kebijakan luar negerinya. Pilihan tersebut lantas direspons IOC yang menegaskan prinsip universalitas dengan menjatuhkan sanksi.

Respons IOC itu sesungguhnya memperlihatkan bagaimana organisasi internasional mampu mengubah norma teknis menjadi isu legitimasi global. Di sisi lain mencuat pula persoalan ihwal apakah semua pelanggaran akses atlet sebenarnya setara. Pasalnya, negara-negara tertentu kerap mendapat kelonggaran sementara negara lain langsung dikenai sanksi. Pola ini menimbulkan kecurigaan adanya standar ganda.

Narasi global

Tak bisa dimungkiri, olahraga adalah arena soft power. Ia bisa menjadi alat untuk membentuk citra, memproyeksikan nilai, dan meraih simpati internasional tanpa kekerasan. Negara yang menguasai arena ini bisa mengarahkan narasi global.

Ketika negara-negara Barat dan jaringan internasional menyokong norma yang ditegakkan IOC, mereka tidak sekadar melindungi prinsip yang selama ini dipegang IOC, tetapi juga melindungi kepentingan simbolik dan materiil yang didukung oleh jaringan lembaga global. Hasilnya, tekanan terhadap negara yang menyimpang dari konsensus dengan mudah dimobilisasi.

Di tingkat praktis, sanksi IOC, seperti yang dijatuhkan ke Indonesia, bisa memotong kesempatan negara berkembang untuk menjadi tuan rumah ajang perhelatan olahraga internasional, yang notabene merupakan peluang untuk membawa investasi, infrastruktur, dan pengakuan internasional. Maka, sanksi ini bukan menyangkut soal olahraga semata, melainkan juga menyangkut soal pembangunan dan soft power nasional.

Pilihan pemerintah Indonesia, yang menolak visa atlet Israel, dilandaskan pada logika kedaulatan dan solidaritas politik domestik. Bagi banyak aktor politik domestik, memberi visa kepada atlet Israel bisa dianggap sebagai pengkhianatan simbolik terhadap solidaritas Palestina.

Namun, pilihan kedaulatan itu akhirnya harus berujung pada biaya diplomatik berupa berkurangnya akses ke jaringan global olahraga, potensi isolasi dalam forum internasional, dan preseden aturan yang membuat tuan rumah lain berpikir dua kali. Semua itu punya konsekuensi nyata.

Di sinilah salah satu dilema negara-negara Global South, yakni bagaimana mempertahankan legitimasi moral domestik sering berbenturan dengan kebutuhan pragmatis untuk berpartisipasi dalam arsitektur internasional yang didominasi aktor kuat.

Jika ditelisik lebih jauh, tindakan IOC yang menjatuhkan sanksi ke Indonesia mencerminkan bagaimana norma internasional dapat menjadi instrumen penegakan homogenitas nilai -- khususnya nilai yang sering diasosiasikan dengan konsensus Barat -- terhadap kepatuhan negara-negara lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang pluralitas norma global.

Alternatifnya, penegakan norma internasional sebaiknya ditata ulang agar lebih sensitif terhadap dinamika politik regional dan aspirasi negara tuan rumah. Pendekatan yang mengedepankan dialog substantif daripada sanksi langsung akan lebih produktif jangka panjang.

Meski demikian, institusi seperti IOC mungkin juga menghadapi tekanan internal dari federasi, sponsor, dan negara-negara pengaruh besar untuk menjaga konsistensi aturan demi kredibilitas.

Komunitas internasional, termasuk IOC, semestinya paham bahwa penegakan norma tidak bisa berjalan efektif tanpa sensitivitas politik dan keadilan prosedural. Tanpa itu, norma justru menjadi alat delegitimasi bagi pihak-pihak di luar lingkaran keputusan.

Dalam jangka panjang, kasus jatuhnya sanksi IOC ke Indonesia menunjukkan kebutuhan reformasi tata kelola olahraga internasional sehingga lebih demokratis, transparan, dan responsif terhadap kepentingan negara-negara Global South. Tanpa reformasi, kasus seperti ini akan terus berulang.

Kalau tujuan Olimpiade adalah menyatukan umat manusia lewat olahraga, maka penegakan norma harus pula memperhatikan keseimbangan antara prinsip universal dan konteks politik secara nyata. Jika tidak, olahraga malah menjadi panggung baru bagi asimetri kekuasaan global dan bukan alat pemersatu yang diidealkan.

*) Djoko Subinarto, kolumnis, alumnus Departemen Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran

Bagikan

Mungkin Kamu Suka