Kini, saatnya ia menentukan pilihan: tetap dengan empat bek, atau kembali ke sistem tiga bek. Semua ada di tangannya. Semua ada baik dan buruknya. Tinggal mana yang paling "klik" dengan kualitas pemainnya.
Jakarta (KABARIN) - Timnas Sepak Bola Indonesia akan menghadapi pertandingan yang disebut pelatih Patrick Kluivert sebagai "dua final" di putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Bermain di Stadion King Abdullah Sport City, Jeddah, Arab Saudi, Indonesia akan menantang Arab Saudi dan Irak dari Grup B. Ketiga tim ini akan saling sikut untuk merebutkan satu tiket lolos otomatis ke Piala Dunia 2026.
Indonesia akan melawan Arab Saudi pada Kamis (9/10) pukul 00.15 WB, dilanjutkan melawan Irak tiga hari berikutnya pada Minggu (12/10).
Kluivert, sejak menangani Indonesia pada Januari, akan menjalani pertandingan ketujuhnya bersama tim Garuda. Enam pertandingan sebelumnya berakhir tiga kemenangan, satu seri, dan dua kekalahan.
Transfermark mencatat presentase poin per pertandingannya adalah 1,67 poin. Jumlah ini adalah yang terbaik dibandingkan periode kepelatihan pelatih asal Belanda itu di tim-tim sebelumnya, seperti Adana Demirspor (1,50 poin) dan di timnas Curacao dalam dua periode (pertama 1,38 poin dan kedua 0,83 poin).
Menjelang 90 menit pertama menuju Piala Dunia 2026 menghadapi Saudi, pertanyaan besar muncul. Sistem formasi mana yang akan dipakai Kluivert? Sistem formasi tiga bek atau sistem empat bek?
Kluivert meneruskan formasi tiga bek peninggalan pelatih sebelumnya Shin Tae-yong pada empat laga pertamanya, yang menghasilkan dua kemenangan penting disertai dua cleansheet melawan Bahrain dan China.
Sistem tiga bek yang dipegang Kluivert dalam grafik statistik menunjukkan peningkatan dalam penguasaan bola. Rata-rata penguasaan bola tim Kluivert dalam empat laga putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 adalah sebesar 44,75 persen. Angka ini di atas penguasaan bola enam laga putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 tim Shin Tae-yong dengan angka 41,3 persen penguasaan bola, demikian catatan Sofascore.
Namun, kabar buruknya hanya itu peningkatan yang dimiliki Kluivert. Sebab, dari aspek lainnya seperti jumlah tembakan, jumlah gol, dan jumlah kebobolan pertandingan, di bawah era kepelatihan Kluivert, catatan Indonesia justru mengalami penurunan.
Dari enam pertandingan, tim Shin Tae-yong menunjukkan efektivitas dalam bermain walaupun tanpa dominasi penguasaan bola. Mereka berhasil mencatatkan total 53 tembakan dalam enam pertandingan atau 8,83 tembakan per pertandingan. Dari jumlah tembakan ini, mereka menghasilkan enam gol.
Sementara itu, Kluivert, sentuhan ala "Belanda" miliknya belum menemukan "klik". Sebab, timnya hanya bisa menciptakan 29 tembakan dalam empat laga atau 7,25 tembakan per pertandingan, dari penguasaan bola yang lebih banyak. Jumlah ini menghasilkan tiga gol, yang semuanya dicetak oleh Ole Romeny.
Dari segi bertahan, shape antarpermain yang terlalu lebar membuat Indonesia kebobolan 11 gol dari empat pertandingan dengan rata-rata kebobolan 2,75 gol setiap pertandingan. Sebelas gol ini hanya tercipta di dua pertandingan melawan Australia dan Jepang.
Sebaliknya, shape antarpermain yang lebih rapat membuat lawan sulit menembus pertahanan Indonesia di era Shin Tae-yong, dengan mereka kebobolan sembilan gol dari enam pertandingan atau kebobolan rata-rata 1,5 gol setiap pertandingannya.
Hal yang terjadi dalam empat pertandingan ini membuat Kluivert mengubah sistem bermainnya pada dua laga FIFA Match Day yang dimainkan di Surabaya pada bulan lalu melawan Taiwan dan Lebanon.
Di dua laga itu, Kluivert memperkenalkan "wajah baru" Garuda dengan formasi 4-2-3-1 atau 4-3-3 yang sudah dipahaminya sebagai pelaku sepak bola yang lahir dan besar di Belanda.
Filosofi "Total Football" yang sudah mendarah daging di tubuhnya, ia tanamkan. Alhasil, Indonesia memetik kemenangan 6-0 atas Taiwan dengan dominasi penguasaan bola 69 persen menurut catatan Lapang Bola.
Selepas pertandingan, Kluivert mengatakan rencana permainannya dieksekusi dengan baik oleh timnya. Ia mengaku puas akhirnya bisa melihat sistem yang ia inginkan di permainan tim Garuda.
Sebelumnya, pada empat laga sebelumnya, ia beralasan tak bisa mengubah sistem lama karena waktu persiapan yang minim. Tak pernah ada pemusatan latihan panjang dan waktu persiapan dengan semua pemain hanya berjalan 2-3 hari sebelum pertandingan berlangsung.
"Inilah yang ingin saya mainkan. Saya ingin memainkan ini untuk waktu yang lama," kata pelatih 49 tahun tersebut.
Baca juga: Timnas Indonesia lebih berkembang dibanding Saudi dan Irak
Masalah masih sama
Namun, kemenangan pembuka setengah lusin itu masih tak mampu membawa Garuda meraih kemenangan atas Lebanon. Lebanon, yang dipilih sebagai lawan untuk persiapan Indonesia di putaran keempat, gagal ditaklukkan.
Skor 0-0 adalah hasil akhir. Indonesia dominan dengan 81 persen penguasaan bola, tapi ini tak mencerminkan yang terjadi di lapangan. Hal ini dikarenakan, Indonesia lebih sering bingung mengalirkan bola setiap kali sampai di final third lawan. Kreativitas pada pertandingan itu tampak minim, dengan serangan Indonesia yang banyak bergantung pada crossing yang berulang kali gagal. Dari 20 crossing, hanya empat yang menemui sasaran menurut Lapang Bola.
Mereka masih belum menemukan formula yang tepat untuk membongkar karakter permainan Bahrain yang bermain tertutup rapat di belakang. Sembilan tembakan dilakukan dan tak ada yang menemui sasaran. Ini menjadi kali kedua tim Kluivert gagal melesatkan tembakan tepat sasaran, setelah sebelumnya saat melawan Jepang di Osaka.
Lebih jauh, hasil melawan Lebanon ini membuktikan Indonesia asuhan Kluivert masih sulit untuk mencetak gol seperti sebelum-sebelumnya. Di sisi lain, tim ini juga masih tergantung dengan sosok Ole Romeny, striker yang memborong semua gol Indonesia di era Kluivert pada babak kualifikasi. Adapun, Ole diragukan tampil untuk laga melawan Saudi nanti karena baru sembuh dari cedera parah yang menimpanya di Piala Presiden 2025 pada Juli lalu.
Mengungkapkan penilaiannya setelah pertandingan, Kluivert sewaktu itu mengatakan bahwa cara bermain Lebanon yang bertahan total di daerahnya sendiri, membuatnya timnya tak bisa berbuat banyak.
"Kalau melihat cara Lebanon bermain, mereka benar-benar bertahan rapat di area sendiri. Itu membuat situasi mencetak gol lebih sulit," ungkap Kluivert.
Meski masih tumpul di area penyerangan, sisi positif dari sistem empat bek adalah solidnya duet Jay Idzes dan Kevin Diks selama 90 menit. Dua pemain yang sama-sama bermain di klub baru musim ini, dengan Idzes di Sassuolo dan Kevin di Borussia Moenchengladbach, menunjukkan kenyamanan beradaptasi dengan pola baru di timnas.
Apapun formasinya, hasil positif harga mati
Satu hal yang pasti, Kluivert patut diberikan apresiasi karena berani mencoba hal baru di timnas Indonesia pada FIFA Match Day bulan lalu.
Kelebihan dan kekurangan kedua sistem itu pasti sudah dikantonginya, baik saat timnya bertahan maupun saat mereka menyerang. Tak hanya soal mencoba formasi, kesempatan menurunkan hampir semua pemain di Surabaya bulan lalu juga menjadi angin segar. Dari eksperimennya itu, Kluivert jadi tahu pemain yang benar-benar cocok bermain di sistemnya.
Kini, saatnya ia menentukan pilihan: tetap dengan empat bek, atau kembali ke sistem tiga bek. Semua ada di tangannya. Semua ada baik dan buruknya. Tinggal mana yang paling "klik" dengan kualitas pemainnya.
Dengan jarak sedekat ini ke Piala Dunia, sejatinya tak ada lagi yang peduli soal formasi. Karena hanya satu hal yang benar-benar penting, hasil positif di lapangan. Dari hasil positif itu, hanya dengan kemenangan pintu Piala Dunia 2026 terbuka lebar.
Baca juga: Kluivert sama sekali tidak ada rasa takut hadapi Arab Saudi
Baca juga: Kluivert pastikan Timnas Indonesia siap berjuang habis-habisan demi kemenangan