Jakarta (KABARIN) - Aroma kopi bisa muncul dari mana saja. Dari sebuah warung tua di sudut Banda Aceh yang membuka pintu sejak subuh, dari deretan kafe penuh lampu kuning di Jakarta yang tak pernah tidur, atau dari dapur kecil di Bandung, ketika seseorang menyalakan ketel dan menunggu airnya mendidih dengan sabar yang tampak seperti ritual.
Di negeri seluas Indonesia, kopi adalah bahasa yang dipahami semua orang, bahkan sebelum mereka tahu cara melafalkannya. Ada sesuatu pada uap panasnya, pada pahit yang diuntaikan dengan lembut, yang membuat orang duduk lebih lama dari seharusnya.
Mungkin karena kopi, sejak lama, telah menjadi sarana paling diam dari cerita hidup sehari-hari masyarakatnya. Dari dulu, hingga sekarang. Di banyak tempat di Indonesia, sejak dulu, ngopi adalah budaya sebelum menjadi industri.
Di Aceh, kopi disaring berulang kali lewat kain tipis, diangkat tinggi-tinggi ke atas, dan disajikan langsung dari kain saring ke gelas bening untuk membuat kopi "sanger". Di Pontianak, kopi tubruk diracik dengan kesederhanaan pada teko-teko besar berleher panjang untuk disajikan pada kedai nan ramai, bersamaan dengan roti sarikaya.
Di Toraja, secangkir kopi adalah bagian dari ritual dan kehangatan kekeluargaan, tak pernah sekadar pelepas kantuk. Dan di Yogyakarta, kopi klotok diracik dengan cara merebus air dengan kopi bersamaan di dalam panci yang membuat aroma dan rasa yang lebih kuat. Bahkan, di Banyuwangi, ngopi ada festivalnya sendiri, sebab masyarakat daerah setempat begitu akrab dengan minuman berkafein ini.
Perjalanan kopi dari tanah menuju cangkir, selalu dimulai dari sesuatu yang sunyi. Sejak dari tanah hingga seduh, semuanya memengaruhi rasa.
Kopi adalah tanaman yang menyerap napas lingkungannya, entah itu tanah vulkanik, daun yang gugur, aroma kebun jeruk, hingga mikroba yang terbawa angin. Itulah sebabnya Kintamani mengingatkan pada asam jeruk segar yang tumbuh di sekitarnya, sementara Lampung menghadirkan nuansa cokelat lembut dari tanah yang dipenuhi sisa-sisa kakao, dan kopi di Temanggung beraroma daun tembakau yang hidup di sekelilingnya. Setiap biji kopi adalah rekaman kecil dari tempat ia tumbuh, menyimpan rahasia lingkungan, tanpa pernah mencoba menutupinya.
Di pegunungan yang lebih tinggi, seperti Ciwidey, pematangan buah kopi yang lambat justru membentuk rasa. Suhu yang rendah dan kabut yang setia memperlambat pematangan, membuat biji menumpuk lebih banyak gula dan menurunkan keasaman secara perlahan. Lain lagi kopi Ijen. Coba, sekali-kali kopi yang tumbuh di lereng Gunung Ijen, mineral dan belerang menciptakan rasa asam-mineral yang bukan citrus, tetapi seperti batu vulkanik yang baru saja dicium hujan pertama. Asam itu bukan dari buah, tapi dari Bumi.
Begitu dipetik, perjalanan kopi berlanjut melalui proses pascapanen, yaitu natural, honey, atau washed, yang masing-masing memahat karakter rasa kopi yang unik. Washed, yang paling umum dengan biji buah kopi dikupas, dicuci, lalu dikeringkan, memberi kejernihan pada rasa kopi, sesuai asalnya, apa adanya.
Proses natural, sebagaimana kopi yang jatuh di alam dan dikeringkan Matahari dengan kulit-kulitnya, membawa rasa buah yang menonjol, manis, dan kompleks. Sementara honey, di mana kulit buah kopi dikupas dan dijemur bersama dengan lendir buah tetap menempel di biji, menyimpan jejak lengket yang halus, karamel-madu yang manis dan bertahan lebih lama.
Dan satu lagi, wine process, ah, itulah saat ketika kopi diberi kesempatan untuk bernapas dengan cara yang lebih dalam. Berminggu-minggu kopi difermentasi, mikroba bekerja perlahan, mengubah gula menjadi aroma yang menyerupai anggur.
Indonesia mengenal semuanya. Kopi Gayo yang pahit lembut bersama dengan aroma rempah nan membumi, Kopi Kintamani yang menyimpan citrus dari kebun jeruk di pegunungan Bali, Kopi Ciwidey yang beraroma bunga-bunga bercampur teh nan lembut, atau Kopi Temanggung yang membuat aktivitas ngopi bisa terasa bersamaan, seperti menghirup aroma rokok tembakau. Itulah kopi. Setiap biji membawa ingatan tanahnya sendiri.
Tetapi rasa kopi tidak pernah berdiri sendirian. Ada perjalanan sosial panjang yang ikut membentuknya. Sebelum tahun 2000, warung kopi adalah ruang publik rakyat di mana tempat para sopir truk beristirahat, tempat tetangga bertukar kabar, tempat orang berbicara politik dan harga-harga sembako yang kian naik, atau sekadar tempat menunggu hujan berhenti. Kopi hanya jadi sarana, perbincangan dalam kebersamaan itu yang dicari. Kebanyakan, peminum kopi itu lebih spesifik kepada kaum laki-laki paruh baya.
Memasuki 2010-an, gelombang third wave tiba turut memberi pengaruh di Indonesia. Kopi manual brew, V60, AeroPress, dan barista culture menyebar, seperti bahasa baru di kalangan anak muda. Film “Ada Apa Dengan Cinta? 2” yang mengangkat Klinik Kopi di Yogya kian mengamplifikasi budaya kopi gelombang ketiga. Membuat orang ingin mengenal kopi yang tidak sekadar pahit. Kafe-kafe rumahan menjamur. Orang-orang mulai menghitung rasio air, memikirkan suhu, membaca rasa, seperti membaca puisi: pelan, detail, dan penuh keingintahuan.
Namun gelombang itu tidak bertahan sendirian untuk publik luas. Terlalu spesifik. Dan lidah orang Indonesia tidak terbiasa dengan rasa pahit asam, atau yang macam-macam sebagaimana kopi menyimpan ingatan akan tanah lingkungan dia tumbuh.
Sampai 2017, sesuatu yang sederhana, namun revolusioner muncul: kopi susu gula aren. Dipopulerkan oleh jaringan kopi, seperti Kopi Kenangan, disempurnakan oleh jenama lain, kafe-kafe kopi semakin banyak bermunculan. Di fase gelombang ketiga dan kopi susu gula aren ini, aktivitas ngopi berubah dari yang sebelumnya adalah sarana untuk bercengkrama, menjadi indentitas urban.
Peminumnya juga sudah bukan bapak-bapak lagi, tapi anak-anak muda, mahasiswa, pekerja kantoran, pria dan perempuan, dan bahkan ibu-ibu paruh baya juga turut meramaikan. Ngopi tidak lagi dilakukan oleh sekelompok orang untuk membicarakan suatu hal dari timur ke barat, tapi bisa saja dinikmati sendiri untuk teman minum mengerjakan tugas kuliah atau menyelesaikan pekerjaan di luar kantor. Kopi pun berubah menjadi salah satu gaya hidup.
Kopi susu gula aren, caramel macchiato, vanilla latte yang banyak terpampang di menu kafe-kafe dengan harga yang mampu dibeli oleh kalangan menengah atas itu kemudian berubah lagi. Muncul kemudian adaptasi kopi modern menjadi bentuk paling merakyat dengan gerobakan pinggir jalan model Kopi Jago, dengan menawarkan harga yang bisa disentuh oleh semua kalangan. Setelah Kopi Jago memopulerkan kopi susu gula aren gerobak, jenama kopi kafe lain pun turun serta ke jalan-jalan besar, hingga menghadirkan banyak pilihan merek untuk disesap.
Dan kini, peta selera mulai berubah lagi. Orang mulai kembali ke rasa asli. Iced Americano naik daun, cold brew merayap masuk ke almari kulkas rumah, dan single origin kembali dipilih karena kejujuran rasa. Sembari munculnya kesadaran masyarakat akan asupan gula yang terlalu banyak di dalam segelas plastik kopi manis tidak begitu menyehatkan. Peminum kopi juga banyak yang mulai ingin tahu siapa petaninya, bagaimana prosesnya, apa yang membuat rasa itu muncul.
Tetapi, apapun alasan sosial budaya atau cerita dari secangkir kopi sanger, segelas plastik kopi susu gula aren, tumbler berisi vanilla latte, atau pada gelas bening kopi single origin yang diseduh V60. Semuanya kembali pada satu kesepakatan yang sama: mari ngopi.