Strength Training jadi andalan baru untuk pemulihan cedera

waktu baca 4 menit

Targetnya adalah pasien bisa kembali aman ke aktivitas atau olahraga tanpa risiko cedera ulang

Jakarta (KABARIN) - Banyak individu datang ke gym bukan sekadar untuk meningkatkan kebugaran, tetapi juga untuk menjalani program pemulihan setelah cedera. Tren ini menunjukkan bahwa saat ini semakin banyak orang memahami bahwa proses pemulihan tidak cukup mengandalkan istirahat atau obat pereda nyeri.

Jika sebelumnya pemulihan lebih berfokus pada pengurangan nyeri, kini menekankan pada perbaikan fungsi tubuh secara menyeluruh. Karena itu, strength training atau latihan kekuatan menjadi salah satu metode yang saat ini marak dilakukan untuk pemulihan cedera. Strength training atau latihan kekuatan terbukti efektif mengembalikan kestabilan dan performa tubuh usai cedera.

Namun, pemulihan yang efektif membutuhkan latihan yang bertahap, terukur, dan sesuai dengan kondisi masing-masing.

Seorang sport physiotherapist sekaligus pelatih di salah satu pusat kebugaran Muhammad Iqbal kepada ANTARA mengatakan bahwa latihan kekuatan dalam rehabilitasi bukan berarti langsung mengangkat beban berat. Akan tetapi dengan memberikan beban yang tepat agar jaringan yang cedera dapat beradaptasi kembali.

Untuk dapat mengembalikan fungsi gerak dan performa tubuh, biasanya coach Iqbal sapaan akrabnya, menerapkan program latihan terencana.

“Program latihan untuk pasien terapi itu biasanya progressive loading ya. Jadi menaikkan beban secara perlahan sesuai kemampuan, sehingga tubuh bisa mengaktifkan kembali movement memory-nya,“kata Iqbal.

Pandangan tersebut diperkuat oleh dokter Astuti Pitarini, spesialis orthopedi dan traumatologi, yang menegaskan bahwa proses pemulihan cedera secara holistik dibagi menjadi tiga fase, yakni fase awal, fase tengah, dan fase akhir. Setiap fase memiliki tujuannya masing-masing.

Dokter yang memiliki keahlian khusus di bidang bedah kaki dan pergelangan kaki tersebut menyebut bila setiap fase tidak diselesaikan secara tuntas, maka pasien tidak bisa melanjutkan ke fase berikutnya.

“Kadang seseorang yang mengalami cedera merasa puas ketika nyerinya hilang. Padahal, ketika nyeri hilang, seharusnya dapat melanjutkan ke tahap berikutnya,” ujar dokter yang memperdalam bidang ortopedi dan foot and ankle dari berbagai rumah sakit internasional tersebut.

Lebih lanjut, dr Astuti pun menjelaskan secara terperinci tiga fase proses pemulihan cedera tersebut.

Fase pertama berfokus pada pengurangan nyeri, pengendalian bengkak, dan menjaga gerak dasar sendi. Dokter menekankan bahwa fase ini menjadi fondasi penting. Jika tidak tuntas, proses di tahap berikutnya akan terhambat.

Setelah nyeri terkendali dan gerak sendi stabil, rehabilitasi memasuki fase penguatan. Pada fase tengah ini, latihan bertujuan mengembalikan kekuatan otot, kontrol gerak, dan tingkat kebugaran umum atau kemampuan tubuh untuk melakukan aktivitas fisik sehari-hari.

Fase terakhir bertujuan mengembalikan fungsi tubuh secara menyeluruh. Latihan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing, mulai dari kembali beraktivitas sehari-hari hingga kembali berolahraga. Jika fase ini dilewatkan, kata dr Astuti, kemungkinan besar akan mengalami risiko cedera kembali.

Menurut fisioterapis yang sehari-hari menangani pasien cedera di pusat kebugaran, jenis cedera yang sering ditangani antara lain ankle sprain, pasien pascaoperasi ACL, cedera bahu seperti rotator cuff tear, hingga patah tulang. Tidak sedikit pula pasien yang mengalami nyeri punggung bawah akibat postur dan kelemahan otot penopang tulang belakang.

Iqbal menuturkan latihan kekuatan memberikan efek positif bukan hanya pada otot, tetapi juga pada sistem saraf, kontrol gerak, dan keseimbangan tubuh. Semua itu dilakukan melalui pendekatan latihan bertahap yang mengikuti fase pemulihan masing-masing pasien.

Program latihan

Pada cedera pergelangan kaki (ankle sprain) misalnya, latihan dimulai dari mobilisasi ringan pada minggu pertama, dilanjutkan penguatan otot betis, latihan resistensi, hingga plyometric ringan pada fase lanjutan.

“Pada satu hingga dua minggu pertama, fokus berada pada range of motion, peregangan otot betis, dan aktivasi otot lokal. Begitu stabilitas membaik, dilanjutkan dengan latihan penguatan, termasuk calf raises, latihan dengan resistance band atau dengan tali elastis hingga latihan keseimbangan,” kata Iqbal menjelaskan.

Pada pasien patah tulang, latihan diberikan setelah dokter memastikan proses penggabungan tulang sudah kuat. Program biasanya dimulai dari isometric exercise atau kontraksi statis sebelum meningkat ke latihan beban ringan seperti step-up, squat, hingga latihan beban bertahap.

Sementara rehabilitasi pascaoperasi ACL memiliki struktur program lebih panjang. Oleh sebab, struktur lutut pasien tersebut memerlukan waktu adaptasi yang cukup panjang setelah rekonstruksi ACL.

“Targetnya adalah pasien bisa kembali aman ke aktivitas atau olahraga tanpa risiko cedera ulang,” kata Iqbal.

Pedoman aman selama latihan

Ahli fisioterapi menekankan pentingnya memperhatikan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan agar agar latihan tidak memperparah cedera.

Hal yang wajib dilakukan:

  • Pemanasan dan pendinginan
  • Fokus pada Teknik dan kontrol gerakan
  • Beban bertahap
  • Menyadari batas tubuh

Hal yang harus dihindari:

  • Latihan saat nyeri atau bengkak
  • Menaikkan beban terlalu cepat
  • Mengabaikan ketidakseimbangan otot

Selain latihan, pemulihan cedera yang optimal ditentukan oleh asupan nutrisi, kualitas tidur, postur tubuh yang baik, dan kekuatan otot kanan-kiri yang seimbang. Dalam hal ini kesiapan mental juga menjadi komponen penting, terutama bagi pasien yang mengalami trauma cedera olahraga.

Untuk menjaga stabilitas selama latihan, pemilihan sepatu yang tepat menjadi bagian dari terapi. Sepatu dengan sol stabil dan tidak terlalu lunak, arch support, dan heel counter yang kokoh sangat dianjurkan. Pasien terapi juga disarankan untuk menghindari sepatu dengan hak tinggi atau sol tipis.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka