Selama ini, kita selalu mengira salmon yang paling tinggi, ternyata sidat justru memiliki nilai gizi tertinggi.
Jakarta (KABARIN) - Siapa sangka, ikan sidat yang selama ini jarang jadi sorotan ternyata punya kandungan gizi lebih tinggi dibandingkan salmon maupun gabus. Fakta ini diungkapkan oleh Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gadis Sri Haryani.
Dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa, Gadis menyebutkan bahwa ikan sidat mengandung omega-3 paling tinggi, terutama DHA dan EPA, yang selama ini lebih identik dengan salmon. DHA (asam dokosaheksaenoat) berperan besar dalam perkembangan dan kesehatan otak, sementara EPA (asam eicosapentaenoat) membantu tubuh melawan peradangan dan menjaga fungsi jantung tetap optimal. Selain itu, sidat juga kaya vitamin A, vitamin B kompleks, zat besi, protein, fosfor, hingga kalori.
"Selama ini, kita selalu mengira salmon yang paling tinggi, ternyata sidat justru memiliki nilai gizi tertinggi," kata Gadis.
Namun, di balik potensi nutrisinya yang luar biasa, sidat justru termasuk spesies dengan siklus hidup kompleks dan rentan. Gadis menjelaskan bahwa sidat tergolong katadromus atau spesies yang menetas di laut dan tumbuh besar di perairan tawar. Siklus hidup ini membuat sidat sangat bergantung pada kondisi ekosistem yang sehat.
"Katadromus artinya dia ketika telur dan menetas di laut menjadi leptocephalus atau larva belut yang unik, memiliki bentuk pipih, transparan, dan seperti daun serta tidak punya kemampuan berenang," jelasnya.
Saat bergerak dari laut dalam menuju muara sungai, larva tersebut berubah menjadi sidat kaca atau glass eel. Pada tahap inilah sidat sering ditangkap secara berlebihan karena permintaan pasar yang tinggi, terutama untuk kebutuhan budidaya dan ekspor.
Tingginya tekanan penangkapan membuat populasi sidat terancam. Ditambah lagi perubahan kondisi lingkungan di muara, gangguan migrasi, hingga musim panen yang tidak menentu menyebabkan pasokan glass eel sering tidak stabil. Alhasil, harga ikan sidat di pasar bisa sangat fluktuatif.
"Ketersediaan pasokan glass eel ini mengakibatkan harga fluktuatif di lapangan, dari harga tinggi hingga harga terendah. Bahkan, ada kalanya glass eel tidak terserap di pasar industri karena kapasitas hatchery yang sudah tidak dapat menampung," ungkap Gadis.
Gadis menekankan perlunya tata kelola berkelanjutan dan berbasis sains agar sidat tak sekadar dimanfaatkan, tapi juga dilestarikan. Menurutnya, ekologi dan industri harus berjalan beriringan melalui konservasi berbasis data ilmiah, rencana aksi nasional, dan perlindungan habitat air.
Dengan cara itu, ketahanan ekologi bisa tercapai karena populasi sidat tetap terjaga, dan ketahanan ekonomi pun terbentuk karena industri sidat tetap kuat dan kompetitif di pasar global.
"Pada akhirnya, pemanfaatan sidat yang bertanggung jawab akan menciptakan nilai tambah sekaligus menjaga kelestarian laut dan perairan tawar Indonesia sebagai fondasi masa depan bangsa," tutupnya.