Jakarta (KABARIN) - Ketegangan internal PBNU kembali memanas setelah Katib Syuriah PBNU, Kiai Nurul Yakin Ishaq, angkat bicara soal ultimatum yang meminta Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mundur dari jabatannya. Menurut Kiai Nurul, ultimatum yang disampaikan Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, tidak memiliki pijakan organisatoris maupun dasar syar’i.
“Rapat Harian Syuriyah tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan Ketua Umum PBNU. Bahkan untuk urusan pemberhentian pengurus lembaga pun rapat itu tidak berwenang,” ujar Kiai Nurul di Jakarta, Selasa.
Ia menegaskan, keputusan tersebut cacat prosedur sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk menurunkan Ketua Umum. AD/ART NU, kata dia, menyebutkan bahwa Ketua Umum adalah mandataris Muktamar, sehingga pencopotan hanya bisa dilakukan melalui Muktamar, bukan forum lain.
Kiai Nurul juga menyayangkan proses rapat yang berlangsung tanpa menghadirkan Ketua Umum sebagai pihak yang menjadi objek keputusan. “Keputusan seperti itu cacat prosedur dan batil menurut syariat,” tegasnya.
Di tengah memanasnya dinamika, Kiai Nurul justru mendorong jalan islah sebagai solusi terbaik bagi NU. Ia menyebut Ketua Umum sudah menyatakan kesediaannya untuk berdamai, demi menjaga keutuhan organisasi.
“Jika Rais Aam menolak islah, berarti menghendaki perpecahan di NU,” ujarnya.
Pernyataan Kiai Nurul ini menjadi perhatian publik karena menyentuh inti dari polemik yang menyangkut dua posisi sentral dalam struktur PBNU: Rais Aam dan Ketua Umum. Banyak pihak menilai, langkah islah adalah opsi paling logis untuk meredakan tensi dan menjaga stabilitas di tubuh NU.
Sebelumnya, beredar luas risalah Rapat Harian Syuriah PBNU yang memuat keputusan Rais Aam dan Wakil Rais Aam soal permintaan agar Yahya Cholil Staquf mundur. Rapat yang digelar Kamis (20/11) di Jakarta itu diikuti 37 dari 53 pengurus harian, dan risalahnya ditandatangani langsung oleh KH Miftachul Akhyar.