Obesitas bisa jadi pintu masuk berbagai penyakit lain

waktu baca 3 menit

Jakarta (KABARIN) - Obesitas bukan sekadar soal angka di timbangan. Menurut dokter spesialis penyakit dalam konsultan endokrin, metabolik, dan diabetes dari Universitas Brawijaya, dr. Rulli Rosandi Sp.PD-KEMD, kondisi ini bisa jadi pintu masuk menuju berbagai penyakit metabolik yang serius dan bikin kualitas hidup turun drastis.

"Obesitas ini adalah pintu masuk ke penyakit-penyakit yang kita bilang penyakit metabolik, dari awalnya dari obesitas," kata Rulli dalam diskusi kesehatan tentang obesitas di Jakarta, Senin (30/9).

Kalau diabetes sering disebut "mother of disease" alias biang segala penyakit, maka obesitas ibarat bahan bakunya. Dari obesitas, masalah lain seperti diabetes, jantung, hingga ginjal bisa ikut muncul.

Rulli menjelaskan, sebagian besar orang dengan obesitas akhirnya mengalami gangguan metabolik berupa diabetes. Nah, diabetes inilah yang kemudian meningkatkan risiko penyakit jantung dan gangguan ginjal. Selain itu, ada juga masalah dislipidemia (penumpukan plak kolesterol), hipertensi, sampai sindroma metabolik.

Makanya, orang dengan obesitas harus rutin cek gula darah, tekanan darah, dan kadar kolesterol.

Baca juga: Hasil CKG, 36 persen orang dewasa dan lansia obesitas

Dampak obesitas ke tubuh dan mental
Obesitas nggak berhenti di situ aja. Kondisi ini bisa mengganggu pernapasan, misalnya menyebabkan sleep apnea—gejalanya antara lain ngorok parah atau sesak saat tidur. Beban berlebih di tubuh juga bikin sendi mudah sakit, badan terasa berat, sampai napas jadi lebih cepat ngos-ngosan.

Bagi perempuan, obesitas bisa memicu masalah hormon seperti polycystic ovarian syndrome (PCOS). Sementara pada laki-laki, obesitas dapat menurunkan kadar testosteron.

Dampak lain yang sering dilupakan adalah kesehatan mental. Banyak pasien obesitas merasa kurang didukung, bahkan dikucilkan. Lebih rumit lagi, obat antidepresan yang mereka konsumsi kadang justru bikin berat badan tambah naik.

Cara menangani obesitas
Menurut Rulli, solusi untuk obesitas itu sangat personal, alias nggak bisa disamaratakan. "Contoh misalnya dia sudah dengan diabetes dan sebagainya, maka tentu lebih agresif tata laksananya, tidak lagi hanya berdasarkan pada modifikasi gaya hidup, tidak hanya mengatur pola makan dan olahraga tapi bisa dipertimbangkan untuk memberikan obat-obatan farmakoterapi. Bahkan pada kasus-kasus yang ekstrem, itu bisa dipertimbangkan untuk melakukan tindakan pembedahan," jelasnya.

Kalau indeks massa tubuh (IMT/BMI) masih di kategori rendah (18–22,9), biasanya cukup dengan olahraga teratur dan atur pola makan. Tapi kalau sudah masuk kategori tinggi (di atas 25), dokter bisa menyarankan penggunaan obat, bahkan sampai operasi bariatrik di kasus tertentu.

Selain angka BMI, dokter juga akan melihat apakah sudah ada komplikasi lain untuk menentukan langkah pengobatan yang lebih tepat.

Rulli berharap kesadaran masyarakat soal obesitas bisa meningkat. Kalau angka obesitas di Indonesia menurun, otomatis risiko penyakit metabolik dan angka kematian juga ikut turun. Bonusnya, beban sistem kesehatan negara bisa jadi lebih ringan.

Baca juga: Mindset jadi salah satu faktor sulitnya atasi obesitas

Bagikan

Mungkin Kamu Suka