Mengungkap alasan dibalik “lavender marriage”, serta apa dampak dibaliknya?

waktu baca 3 menit

Jakarta (KABARIN) - Pernikahan sering kali dikaitkan dengan cinta, kebahagiaan, dan keinginan untuk membangun masa depan bersama. Namun, tidak semua pernikahan lahir dari rasa cinta yang tulus. Ada fenomena unik yang dikenal dengan istilah lavender marriage, yaitu pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang dijalani bukan karena cinta, melainkan untuk menutupi orientasi seksual yang sebenarnya.

Fenomena ini biasanya muncul ketika salah satu atau bahkan kedua pasangan menghadapi tekanan sosial, budaya, agama, atau ekspektasi keluarga yang tidak menerima orientasi seksual non-heteroseksual, seperti homoseksual. Alih-alih menunjukkan jati diri, mereka memilih “jalan aman” berupa pernikahan heteroseksual.

Apa itu lavender marriage?
Istilah lavender marriage pertama kali muncul pada awal abad ke-20 di Hollywood. Pada masa itu, homoseksualitas dianggap tabu, bahkan ilegal di banyak negara. Beberapa selebritas atau tokoh publik akhirnya memilih menikah heteroseksual untuk menjaga karier, citra, dan menghindari diskriminasi.

Sayangnya, pernikahan seperti ini jarang bertahan lama. Hubungan yang dibangun tanpa cinta cenderung toxic dan sering kali berakhir dengan perceraian.

Alasan orang menjalani lavender marriage
Ada berbagai faktor yang mendorong seseorang memilih jalan ini, di antaranya:

1. Tekanan sosial dan budaya
Dalam masyarakat tertentu, orientasi non-heteroseksual dianggap tidak normal sehingga rawan diskriminasi. Lavender marriage jadi cara “aman” agar tetap diterima.

2. Menjaga karier dan citra
Terutama bagi tokoh publik, pernikahan heteroseksual dianggap bisa melindungi reputasi yang sudah dibangun.

3. Agama dan keyakinan
Beberapa agama melarang keras hubungan sesama jenis. Karena itu, pernikahan heteroseksual dijadikan tameng.

4. Keinginan untuk berkeluarga
Meski punya orientasi non-heteroseksual, ada yang tetap ingin punya keluarga dan anak sehingga memilih lavender marriage.

5. Keamanan finansial dan sosial
Menikah heteroseksual dianggap memberi rasa aman secara ekonomi maupun sosial, yang sulit dirasakan pasangan sesama jenis.

6. Perlindungan hukum dan privasi
Di beberapa negara, hubungan sesama jenis masih dianggap ilegal. Lavender marriage jadi “jalan keluar” agar terhindar dari persekusi hukum maupun sorotan publik.

Dampak psikologis lavender marriage
Meski terlihat seperti solusi, lavender marriage justru bisa menimbulkan dampak serius bagi kesehatan mental.

1. Kecemasan, stres, dan depresi
Menyembunyikan jati diri membuat seseorang merasa terisolasi dan putus asa.

2. Rendahnya harga diri
Terus hidup dalam kebohongan bisa memicu hilangnya identitas diri.

3. Masalah dalam hubungan
Karena tidak ada cinta, hubungan jadi minim keintiman dan cenderung penuh konflik.

4. Perilaku menyakiti diri
Tekanan emosional bisa membuat seseorang melampiaskan dengan alkohol, narkoba, atau kebiasaan negatif lain.

5. Trauma hingga gejala mirip PTSD
Dalam jangka panjang, mereka bisa mengalami trauma, rasa mati rasa emosional, hingga selalu merasa waspada berlebihan.

Lavender marriage mungkin terlihat seperti jalan aman untuk menghadapi tekanan sosial dan budaya. Namun di balik itu, ada konsekuensi besar yang memengaruhi kondisi mental, emosional, bahkan hubungan dengan pasangan. Alih-alih membawa kebahagiaan, pernikahan semacam ini justru kerap menjadi sumber penderitaan jangka panjang.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka