Jakarta (KABARIN) - Di era digital kayak sekarang, curhat ke AI mungkin terasa lebih mudah dan aman. Tapi, Psikolog dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi., alias Romi, mengingatkan agar masyarakat nggak menjadikan AI sebagai tempat curhat utama, apalagi untuk urusan hati dan kepribadian.
“Apa yang diungkapkan oleh AI mungkin betul, tapi apakah itu bisa suitable atau cocok untuk situasi kondisi orang ini saat ini, itu yang mesti dipertanyakan lebih lanjut. Kalau kaitannya dengan sesuatu misalnya masalah hati, kepribadian, ada baiknya untuk tidak selalu dengan AI konsultasinya,” kata Romi saat dihubungi ANTARA, Senin.
Menurut Romi, jawaban dari AI bisa saja terdengar masuk akal, tapi sifatnya terlalu umum karena bersandar pada data yang sama. Jadi, hasil yang keluar bisa mirip-mirip antara satu orang dengan yang lain, padahal tiap orang punya kondisi dan latar belakang yang berbeda.
“AI memang bisa mengumpulkan data-data untuk menjawab atas permasalahan kita. Namun, jika masalahnya menyangkut hal spesifik tentang kepribadian atau masalah tertentu yang sebenarnya tidak bisa dijelaskan lewat data, maka hasilnya akan menjadi kurang tepat,” jelasnya.
Romi menambahkan, saat seseorang curhat ke manusia, terutama psikolog, ada banyak faktor lain yang ikut dipertimbangkan, seperti bagaimana seseorang bereaksi terhadap masalah, beradaptasi, dan mencari solusi. Hal-hal seperti itu nggak bisa sepenuhnya ditangkap oleh AI.
Meski begitu, Romi paham kenapa banyak orang lebih nyaman curhat ke AI. “Orang mungkin merasa lebih aman berbicara atau curhat dengan AI karena merasa menganggapnya bukan manusia. Tak ada rasa takut dihakimi atau rahasianya disebarkan, sebab berpikir AI hanyalah mesin,” ujarnya.
Namun, kalau seseorang merasa kesepian atau nggak punya teman dekat, lebih baik berkonsultasi dengan psikolog, bukan berarti dirinya mengalami gangguan jiwa. Menurut Romi, justru konsultasi dengan profesional bisa memberi sudut pandang yang lebih objektif dibanding saran dari teman dekat yang mungkin terlalu subjektif.
“Ada baiknya memberikan kesempatan pada diri orang ini yang perlu konsultasi itu untuk mengevaluasi dulu. Apakah saya memang tidak sama sekali membutuhkan orang untuk curhat, atau memang hanya dengan butuh dengan AI. Karena jangan sampai dengan hasil informasi yang diberikan AI bisa jadi salah jalan juga,” ujar Romi.
Ia menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang butuh interaksi nyata. “Kalau kadang-kadang cari informasi kecil tentang sesuatu ‘saya kok suka cemas ya apa ya penyebabnya bisa ini bisa ini’, nah itu mungkin masih bisa ya. Tapi kalau misalnya sudah mendalam, kalau menurut saya sebaiknya tidak dengan AI lagi,” pungkasnya.
Jadi, boleh aja tanya hal ringan ke AI, tapi kalau udah menyangkut perasaan dan kepribadian, lebih baik tetap ngobrol sama manusia, apalagi yang ahli di bidangnya.