Tercatat Prabowo mendapat tepuk tangan sebanyak delapan kali selama berpidato, menunjukkan sebagian besar peserta sidang setuju dan atau merasa terwakilkan oleh isi pidato presiden ke-8 Indonesia itu.
Jakarta (KABARIN) - Senin 22 September 2025. Waktu menunjukkan pukul 14.50 NYT, yang berarti Konferensi Mengenai Palestina dan Solusi Dua Negara di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat akan segera dimulai.
Para wartawan dari berbagai penjuru dunia memadati ruang tunggu menuju General Assambly Hall/ GA Hall. Mengenakan setelan jas maupun blazer, para wartawan sudah berbaris sembari menenteng kamera dengan lensa tele dan kamera profesional untuk siaran televisi.
Tidak sedikit juga yang mengantre dengan hanya menggenggam ponsel, menunjukkan bahwa mereka adalah wartawan untuk media cetak maupun daring, atau seorang reporter tv yang mikrofonnya disimpan di dalam tas.
Petugas penghubung acara (liaison officer) tampak berupaya tenang menghadapi lebih dari 100 wartawan yang tidak sabar untuk segera memasuki GA Hall, tempat ratusan delegasi dari 193 anggota PBB menyampaikan pidato mengenai isu Palestina.
Mengingat keterbatasan jumlah dan kapasitas bilik —tempat wartawan bisa menyaksikan dan merekam langsung segala hal yang terjadi di ruang pertemuan terbesar di markas besar PB--, petugas harus mengatur arus keluar masuk wartawan.
Saat itu, ada 32 perwakilan negara +1 Liga Arab yang akan menyampaikan pidato. Jika delegasi sebuah negara berbicara pada nomor urut akhir, wartawan asal dari negara tersebut tidak akan diperkenankan untuk masuk dari awal, meski datang jauh sebelum acara dimulai.
Wartawan Indonesia, di mana presiden Prabowo Subianto berada pada nomor urut kelima, terbagi menjadi dua. Ada yang beruntung bisa masuk sedikit lebh cepat, ada yang baru diizinkan masuk sesaat setelah presiden Brasil yang berada pada nomor urut ketiga, mulai berpidato.
Sesampai di bilik dengan ukuran sekitar 2x2,5 meter, hal yang pertama kali para wartawan pastikan adalah mencari posisi duduk Presiden Prabowo bersama para menteri yang mendampinginya.
Berdasarkan hasil undian PBB, Indonesia ditempatkan di sisi kanan atas dari podium, bersebelahan dengan delegasi Iran. Benar saja, Presiden Prabowo yang mengenakan setelan jas berwarna abu-abu tampak sudah duduk dan mendengarkan pidato Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva.
Tak lama setelah itu, Presiden Prabowo beranjak turun menuju holding room, yang mengisyaratkan ia segera akan menyampaikan pidatonya.
Sekira pukul 04.30 NYT, Presiden Prabowo berjalan menuju podium utama sembari sekilas menyapa Presiden Prancis Emmanuel Macron. Keduanya sempat bertemu di Jakarta pada akhir Mei lalu.
Prabowo mengawali pidato dengan mengajak peserta konferensi mengingat kembali puluhan ribu nyawa yang telah melayang, bencana kemanusiaan dan kelaparan yang sedang terjadi di Gaza
Tepuk tangan yang cukup meriah terdengar saat Presiden menegaskan kembali dukungan Indonesia untuk solusi dua negara, dan menyampaikan akan turut menjamin keamanan Israel jika Israel mengakui kemerdekaan Palestina.
Tepuk tangan juga datang dari delegasi Palestina yang delegasinya dipimpin oleh Wakil Tetap Palestina untuk PBB New York, Riyad Mansour.
Namun, saat asik berpidato, mikrofon Presiden Prabowo sempat mati karena ia telah kehabisan jatah waktu untuk berbicara selama lima menit. Hanya saja, berkat suara yang menggelegar, pidato presiden masih sedikit terdengar, bahkan cukup untuk sampai ke bilik wartawan yang berada pada lantai 2, meski sayup sayup.
Satu hal yang kami, para wartawan, ingat betul adalah “peace, peace now, peace immediately.”
Sepertinya, potongan kalimat itu tidak ada di naskah asli pidato Prabowo, karena Presiden sudah mengakhiri dengan mengucapkan “terima kasih banyak” sembari menutup lembaran naskah pidatonya.
Gerak tubuhnya terlihat sedikit bergeser ke arah kanan, seakan ingin bergerak meninggalkan podium utama. Namun, tiba-tiba mikrofon kembali menyala, Presiden kembali berbicara dan menekankan perlunya perdamaian segera yang kembali disambut dengan tepuk tangan dari peserta konferensi.
Cukup merinding, menyaksikan secara langsung kepala negara menegaskan komitmen Indonesia terhadap perdamaian Palestina dan mengecam perilaku Israel.
Besar harapan bahwa sesi di PBB ini akan menjadi trigger bagi negara negara yang masih ragu untuk mengakui Palestina sebagai sebuah negara, untuk segera mengakui kemerdekaan Palestina; untuk segera membulatkan tekad dan bersama-sama mendesak diakhirinya genosida oleh Israel di Gaza dan mewujudkan perdamaian di kawasan Timur Tengah.
Menyoal mikrofon yang mati, ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat. Kementerian Luar Negeri meluruskan bahwa mikrofon yang mati tersebut murni semata-mata karena presiden telah kehabisan jatah waktu berbicara, bukan sebuah upaya sabotase maupun lainnya. Kejadian serupa juga terjadi pada Presiden Turki Erdogan saat ia menyampaikan pidatonya.
Pidato perdana seorang Kepala Negara di Sidang Majelis Umum PBB
Keesokan hari setelah Prabowo berpidato, tibalah hari yang ditunggu tunggu oleh masyarakat Indonesia; Hari di mana kekosongan kepala negara Indonesia di sesi Debat Umum Sidang Majelis Umum (SMU) PBB, berakhir.
Pada periode pemerintahan Presiden RI ke-7. Presiden Jokowi memilih untuk mendelegasikan kehadirannya kepada Menteri Luar Negeri saat itu, Retno Marsudi.
Berita kehadiran Presiden Prabowo dalam forum debat itu telah berhembus sejak Agustus. Tak ayal hari sesi Debat Umum SMU pada 23 September disorot oleh banyak mata, ditambah lagi Presiden Prabowo dapat kesempatan berbicara pada nomor urut tiga. Bahkan, secara teknis, Indonesia bisa dibilang berada pada nomor urut satu, karena nomor urut 1 dan 2, sebuah template.
Brasil berada pada urut satu, merujuk pada momen di mana saat itu tidak ada negara yang mau berbicara pertama, namun Brasil mengalah dan memilih untuk maju. Sejak saat itu, Brasil selalu diberi tempat pertama untuk berbicara.
Amerika Serikat, negara tempat berlangsung SMU praktis berada pada nomor urut dua. Barulah negara lain, yang pada SMU ke-80 ini, kesempatan jatuh ke Indonesia.
Situasi di ruang menuju GA Hall lebih ramai dibanding hari sebelumnya. Ruang menuju bilik untuk wartawan, seakan tak mampu menampung jumlah wartawan yang hadir.
Meski kami, wartawan Indonesia, telah berupaya berangkat menuju Markas Besar PBB sebelum matahari terbit, tetap saja kami kalah cepat dan mendapat antrian di bagian belakang, berdiri persis di dekat pintu ruang tunggu.
Presiden AS Donald Trump yang berada pada urutan kedua, turut menjadi incaran para wartawan dari berbagai negara. Tidak sedikit yang ingin menyaksikan dan mendengarkan kepala negara negeri dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia itu berbicara secara langsung.
Bermodalkan komunikasi bahwa Indonesia akan berbicara pada nomor urut 3, liaison officer mengizinkan kami masuk, tak lama jelang sesi Debat Umum dimulai pada pukul 09.00 NYT.
Barisan rombongan wartawan Indonesia, yang terdiri dari 11 orang wartawan nasional dan wartawan dari Istana, sempat terputus. Memang agak sulit menembus lapisan wartawan lain yang telah mengantre di depan, seakan kami tidak diberi jalan untuk menerobos antrian karena mereka juga ingin segera memasuki GA Hall.
Setibanya di dalam bilik yang telah dipilihkan panitia, terasa sesak karena kewalahan menampung belasan orang, belum lagi beberapa di antaranya membawa kamera. Sejumlah wartawan pun mencoba mengecek bilik lain, berharap ada tempat kosong.
Namun apa daya, ruangan lain ternyata sudah disiapkan untuk ditempati wartawan Amerika Serikat yang datang dengan perlengkapan yang lebih lengkap dan ukuran kamera yang lebih besar, siap mengabadikan pidato presiden mereka, Donald Trump.
Donald Trump yang menjabat untuk periode kedua, berbicara hampir 1 jam, jauh melebihi batas waktu 15 menit yang ditetapkan PBB.
Trump dengan gaya berbicaranya yang nyeleneh, membahas banyak hal dalam pidatonya, mulai dari menyindir teleprompter yang sempat mati, eskalator yang tidak berfungsi, menuduh PBB tidak bekerja dengan baik, hingga merendahkan sejumlah negara.
Ia juga menyebut kemerdekaan Palestina sebagai sebuah “hadiah” yang terlalu besar bagi kelompok Hamas. Tak lupa, ia pun memamerkan dampak tarif resiprokal yang dikenakannya kepada lebih dari 180 negara.
Kontras dengan Trump, Presiden Prabowo dengan suaranya yang tegas, bahkan diiringi dengan gestur memukul meja podium, seakan memberi “angin segar” kepada para peserta sidang.
Prabowo yang berbicara dengan durasi 19 menit, membahas banyak hal. Mulai dari kepedihan yang dialami Indonesia selama masa penjajahan, komitmen Indonesia pada multilateralisme demi memperkuat peranan PBB, kesiapan mengirimkan 20 ribu pasukan perdamaian, isu perubahan iklim, serta capaian-capaian di dalam negeri.
Prabowo kembali menegaskan dukungan penuh Indonesia terhadap Solusi Dua Negara di Palestina dengan menyatakan bahwa Palestina harus merdeka dan keselamatan serta keamanan Israel harus dijamin, demi mewujudkan perdamaian sejati.
Gaya pidato Presiden Prabowo mendapat apresiasi langsung dari sejumlah Kepala Negara yang hadir pada sesi Debat Umum, maupun menyaksikan secara daring. Bahkan Presiden AS Trump berkelakar bahwa ia tidak dapat membayangkan bagaimana jika Prabowo marah—merujuk pada gestur Prabowo saat berpidato.
Tercatat Prabowo mendapat tepuk tangan sebanyak delapan kali selama berpidato, menunjukkan sebagian besar peserta sidang setuju dan atau merasa terwakilkan oleh isi pidato presiden ke-8 Indonesia itu.
Mengutip pandangan mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Dino Patti Djalal, pidato Prabowo menampilkan pandangan yang kontras, tapi tulus, nyata, tajam dan konstruktif. Tidak mencaci maki, tidak merendahkan orang tapi penuh dengan solusi dan semangat internasionalisme.
Kepedulian Indonesia terhadap keberlangsungan umat manusia dengan menyoroti krisis perubahan iklim, dinilai Dino sebagai perwujudan dari Indonesia yang sudah siap untuk menjadi salah satu pelopor dunia di bidang diplomasi perubahan iklim dan transisi net zero yang nyata.
Prabowo juga menunjukkan keberpihakannya kepada PBB, sebuah lembaga yang telah hadir selama 80 tahun, yang posisinya kian melemah, belum lagi sedang menghadapi kekurangan pendanaan karena, salah satunya, akibat Amerika Serikat menahan dan mengurangi pendanaan ke PBB.