Melihat fenomena "grey divorce" serta dampaknya bagi keluarga

waktu baca 4 menit

Jakarta (KABARIN) - Bila pada zaman dahulu, perpisahan pada pasangan yang telah berusia lanjut lebih banyak karena faktor kesehatan yang membuat salah satunya meninggal dunia terlebih dahulu. Kini perpisahan di antara orang paruh baya juga banyak didasarkan oleh faktor perceraian.

Perceraian pada pasangan usia lanjut, khususnya di antara mereka yang berusia 50 tahun ke atas, kian menjadi fenomena yang umum dijumpai. Fenomena itu dikenal dengan istilah "grey divorce", atau ada pula yang menyebutnya "twilight divorce" hingga "silver separation".

Penamaan "grey divorce" sendiri dapat dimaknai sebagai gabungan dari kata divorce yang berarti perceraian; dan warna grey atau abu-abu yang merujuk pada rambut uban di kalangan orang lanjut usia.

Meningkatnya fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara dengan angka perceraian tertinggi, tetapi dilaporkan pula terjadi di negara lain, seperti di Korea Selatan yang dikenal dengan istilah "hwang-hon" atau di Jepang yang disebut dengan "jukunen-rikon".

Di Indonesia sendiri, fenomena "grey divorce" juga dialami oleh sejumlah selebritas atau publik figur. Misalnya, pasangan Andre Taulany dengan Rien Wartia Trigina yang bercerai setelah 20 tahun bersama, hingga mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dengan Atalia Praratya yang tengah menunggu ketuk palu perceraian usai 29 tahun bersama.

Istilah "grey divorce" sendiri pertama kali muncul dalam literatur akademis oleh Sosiolog Susan L. Brown dan I-Fen Lin (2012) untuk menggambarkan perceraian di kalangan usia 50 tahun ke atas yang meningkat dua kali lipat antara tahun 1990 dan 2010.

Penyebab

Kecenderungan meningkatnya pasangan berusia lanjut untuk mengakhiri pernikahan panjang mereka bisa terjadi karena berbagai alasan, termasuk perubahan paradigma masyarakat yang telah bergeser seiring laju modernitas.

Mengutip American Psychological Association, beberapa faktor tersebut di antaranya berkembangnya makna pernikahan, di mana saat ini semakin banyak pria maupun wanita menaruh harapan lebih besar pada kualitas pernikahan, termasuk menjadi mitra yang setara di dalam institusi pernikahan itu sendiri.

"Grey divorce" bisa didasari pula oleh faktor meningkatnya harapan hidup masyarakat dunia yang membuat umur manusia saat ini lebih panjang dibandingkan era sebelumnya. Untuk itu, peluang menghadapi perceraian menjadi lebih besar karena kemungkinan menjadi janda atau duda pada usia tertentu kini semakin kecil.

Faktor lainnya ialah menurunnya stigma tentang perceraian di masyarakat saat ini sehingga tekanan sosial untuk bertahan dalam pernikahan yang dianggap hampa atau sekadar formalitas pun menurun, berbeda dengan zaman dahulu yang seakan menganggap perceraian sebagai aib buruk.

Selain itu, "Grey divorce" bisa dilatari oleh faktor perempuan masa kini yang lebih cenderung memiliki karier dan kemandirian finansial, yang membuat perceraian lebih mudah dilakukan ketika pernikahan dianggap tidak memuaskan.

Dampak

Perceraian merupakan peristiwa yang sangat berat di usia berapa pun, karena termasuk salah satu pemicu stres terdalam dalam hidup. Perceraian pada usia lanjut tetap dapat membebani sekalipun anak-anak mereka sudah beranjak dewasa ketika orang tuanya memutuskan bercerai.

Menurut psikoterapis asal California Carol Hughes, seperti dilansir BBC, perceraian dalam beberapa kasus dapat mengguncang pemahaman anak yang sudah dewasa tentang kisah hidup keluarganya, termasuk mempertanyakan identitas dan harga diri mereka, hingga mempengaruhi keputusan mereka dalam mengakhiri hubungan berpasangan.

Selain itu, anak-anak yang sudah dewasa bisa merasa berkewajiban membantu orang tua yang mereka anggap “dirugikan” dalam perceraian tersebut, misalnya dengan memihak kepada salah satu orang tua, memberi dukungan emosional dan sosial, hingga saran hukum.

Adapun profesor sosiologi di Kutztown University of Pennsyvania, Joleen Greenwood mengatakan bahwa perceraian di usia lanjut juga berpotensi memengaruhi hubungan orang tua dengan saudara kandung dan anggota keluarga besar, hari libur atau ritual yang menjadi kebiasaan keluarga, hingga merembet ke hubungan asmara anak-anak mereka yang sudah dewasa.

Masalah besar lainnya setelah perceraian di usia lanjut ialah kemungkinan menghadapi persoalan terkait hak warisan dan penentuan siapa yang berstatus sebagai kerabat terdekat, terutama menyangkut hak dalam pengambilan keputusan medis di kemudian hari bila kondisi kedaruratan terjadi.

Meski demikian, beberapa hubungan orang tua dengan anak yang telah dewasa sama sekali tidak terpengaruh secara negatif terhadap "grey divorce". Beberapa di antaranya bahkan mungkin mendukungnya karena merasa lega orang tua mereka akhirnya bercerai setelah seringkali terjadi konflik dan pertengkaran ketika mereka tumbuh dewasa.

Baca juga: Gray Divorce: Fenomena cerai di usia senja, kenapa bisa terjadi?

Bagikan

Mungkin Kamu Suka