Emas jadi investasi paling stabil dan aman di tengah ketidakpastian ekonomi

waktu baca 6 menit

Dengan pengolahan emas dalam negeri, produk emas bisa masuk ke dunia perbankan, mendorong ekonomi, dan dinikmati langsung oleh masyarakat

Jakarta (KABARIN) - Resesi global masih menghantui banyak negara, termasuk Indonesia. Ancaman inflasi yang tinggi, fluktuasi nilai tukar, dan melemahnya daya beli membuat banyak perusahaan terpaksa melakukan efisiensi, merumahkan karyawan, hingga menunda ekspansi bisnis.

Di tengah ketidakpastian ekonomi yang makin kompleks ini, emas kembali menunjukkan daya tahannya sebagai instrumen investasi yang stabil dan relatif aman. Emas mampu melindungi nilai aset, sekaligus menjadi alternatif bagi masyarakat untuk menjaga kekayaan dari gejolak pasar dan tekanan inflasi.

Fatma, seorang karyawan berusia 40 tahun, salah satu bukti nyata bagaimana emas bisa menjadi pelindung finansial saat menghadapi masa sulit.

Tak disangka, ia harus kehilangan pekerjaan di usia yang tidak lagi muda. Beruntung, emas yang telah ia tabung selama beberapa tahun menjadi penyelamat. Saat menghadapi kebutuhan mendesak, ia menjual atau menggadaikan sebagian simpanannya untuk modal usaha. Baginya, emas bukan sekadar simpanan, tetapi juga jaring pengaman yang bisa diandalkan.

Awalnya, Fatma hanya membeli emas dalam bentuk perhiasan, seperti cincin, gelang, atau kalung yang bisa dipakai sekaligus disimpan. Namun seiring waktu, ia menyadari bahwa emas batangan jauh lebih menguntungkan dan efisien.

“Kalau saya perhatikan, harga emas batangan dari tahun ke tahun jauh lebih menguntungkan. Saat ada kebutuhan mendesak ibu saya sakit atau ingin membeli barang bernilai tinggi, saya tinggal menggadaikan atau menjualnya. Keuntungannya sangat terasa,” ujarnya.

Sejak beralih ke emas batangan, Fatma rutin membeli emas setiap kali punya uang lebih. Ia melihat nilai emas meningkat pesat; misalnya, harga emas yang dulu ia beli antara Rp1,2–1,4 juta per gram kini telah meroket hingga Rp2,2 juta per gram.

“Selisihnya sangat tinggi. Saya merasa beruntung memiliki simpanan emas,” katanya.

Apalagi dengan hadirnya aplikasi Pegadaian Digital, Fatma kini bisa bertransaksi secara virtual tanpa harus datang ke kantor. Banyak pilihan layanan tersedia, mulai dari tabungan emas, deposito emas, titip emas fisik, dan lainnya, membuat ia semakin tertarik dengan emas.

“Awalnya saya itu hanya tahu membeli dan menjual (emas) saja, tapi ternyata tidak sebatas itu, layanan dan produk yang dihadirkan Bank Emas ini variatif. Biayanya pun sangat terjangkau, hanya sekitar Rp30 ribu per tahun untuk simpan fisik, sementara deposito emas bisa memberi bunga satu persen per tahun,” tutup Fatma.

Kemudahan transaksi digital inilah yang juga menarik perhatian generasi muda, terutama Gen Z. Rafly Faturrahman (22), misalnya, seorang mahasiswa dan pekerja magang itu, rutin menyisihkan Rp50 ribu dari uang bekalnya setiap hari untuk menabung emas.

Dengan harga mulai dari 0,01 gram atau sekitar Rp20 ribu, Rafly semakin terdorong untuk berinvestasi emas.

“Jadi, saya lihat sosial media lagi ramai dengan invest emas, nih. Saya pikir daripada saya beli kopi setiap hari, lebih baik saya investasikan ke emas,” ujar mahasiswa tingkat akhir jurusan komunikasi itu.

Dari potret tersebut, tak heran bila Pegadaian, sebagai Bank Emas pertama di Indonesia mencatat 15 persen nasabahnya berasal dari Gen Z, dengan lebih dari separuh transaksi atau sekitar 58 persen dilakukan secara digital.

Kemudahan bertransaksi secara daring inilah yang semakin mendorong generasi muda untuk menabung emas, sekaligus membuka peluang bagi masyarakat luas memahami pentingnya investasi emas dan proteksi aset.

Data Badan Pusat Statistik hingga Februari 2025 menunjukkan, populasi usia muda di Indonesia cukup besar dengan 22,1 juta jiwa berusia 15–19 tahun, 22,2 juta jiwa usia 20–24 tahun, 22,5 juta jiwa usia 25–29 tahun, 22,2 juta jiwa usia 30–34 tahun, dan 21,7 juta jiwa usia 35–39 tahun.

Bayangkan potensi ekonomi yang bisa tercipta jika generasi muda ini mulai memanfaatkan emas, tidak hanya sebagai instrumen investasi, tetapi juga sebagai sarana pembiayaan dan transaksi digital.

Karena itu, sebagai lembaga jasa keuangan yang memiliki visi mengEMASkan Indonesia, Pegadaian terus mendorong literasi emas dan memperluas kepemilikan emas di masyarakat. Dukungan lebih dari 4.000 outlet yang tersebar di seluruh Indonesia membuat akses menabung, membeli, menjual, hingga menitipkan emas semakin mudah dijangkau.

“Kami mendorong kepemilikan emas karena efeknya luas, yakni meningkatkan pendapatan masyarakat, mendorong belanja, dan secara tidak langsung kontribusi terhadap PDB nasional meningkat,” ujar Kepala Divisi Bisnis Bullion PT Pegadaian, Kadek Eva Suputra, kepada ANTARA.

Lebih lanjut, Kadek juga memaparkan, hingga saat ini sekitar 4 juta orang yang telah menabung emas di Bank Emas Pegadaian, dengan rata-rata simpanan 3 gram per orang. Adapun total deposito emas mencapai 1,4 ton, dan nilai perdagangan mencapai Rp9 triliun.

Data ini menggarisbawahi bahwa menabung emas kini bukan sekadar gaya hidup, tetapi juga strategi cerdas untuk masa depan finansial.

Dengan literasi yang meningkat dan akses yang semakin mudah, masyarakat memiliki kesempatan untuk memanfaatkan kekayaan emas nasional secara optimal.

Kami harapannya jumlah kepemilikan emas yang ada di masyarakat semakin meningkat. Artinya produsen-produsen emas itu juga akan semakin meningkat produksinya. Hal itu berimbas terhadap sektor manufaktur atau perajin emas, serta berpeluang menghidupkan lapangan pekerjaan,” kata Kadek.

Indonesia memang kaya akan emas, dengan produksi nasional 100 ton per tahun, tapi kepemilikan emas di masyarakat masih rendah, hanya 0,2 gram per kapita. Hal ini menunjukkan emas perlu terus dikenalkan dan dibuka kemudahan aksesnya sehingga dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas.

Peneliti Center for Sharia Economic Development Institute for Development of Economics and Finance CSED-INDEF Abdul Hakam Naja kepada ANTARA mengungkapkan, selama ini sebagian besar emas Indonesia diolah di luar negeri, seperti Jepang dan Spanyol. Namun, sejak pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur dilakukan baru-baru ini dengan kemampuan mengolah 60 ton emas, mulai membuka peluang untuk mengoptimalkan ekosistem emas dalam negeri.

“Dengan pengolahan emas dalam negeri, produk emas bisa masuk ke dunia perbankan, mendorong ekonomi, dan dinikmati langsung oleh masyarakat,” kata ekonom yang meraih gelar doktor di UNPAD itu.

Hakam menambahkan produk emas yang masuk ke keuangan melalui Bullion Bank memberi kesempatan bagi Indonesia untuk mencontoh gerakan serupa di Turki pada 2011, di mana masyarakat menyetorkan emas yang mereka miliki di rumah, baik perhiasan maupun batangan ke bank. Emas tersebut kemudian dihitung, dicatat dalam rekening bank, dan bisa diperjualbelikan di pasar emas maupun bursa emas.

Menurut ekonom INDEF tersebut, saat ini terdapat 1.800 ton emas perhiasan yang tersebar di masyarakat. Bila masyarakat dapat menyetorkan emas tersebut, yang kemudian dihitung berdasarkan karatnya dan dicatat sebagai emas murni 24 karat dalam rekening, maka upaya tersebut dapat membuka peluang untuk membentuk ekosistem emas yang lebih masif, sekaligus meningkatkan kontribusi sektor ini terhadap PDB nasional, diperkirakan 2-2,5 persen, atau sekitar Rp400 triliun dari total PDB Rp22.000 triliun.

“Di Turki, masyarakat boleh menyetorkan emas perhiasan yang ada di rumah untuk dihitung sebagai aset di rekening. Nah, kalau ini diterapkan di Indonesia, gerakan ini akan sukses untuk membangun ekosistem emas Indonesia,” kata Hakam kepada ANTARA.

Jika gerakan menabung emas terus meluas, “demam emas” akan melanda masyarakat. Dampaknya roda ekonomi bergerak lebih cepat, lapangan kerja terbuka, daya beli meningkat, dan ketahanan finansial lintas generasi semakin kuat.

Bagikan

Mungkin Kamu Suka